Monday, August 22, 2016

Bahayanya Kata-Kata




Menulis ini karena hati dan pikiran saya yang terusik.
Rabu, 18 Agustus 2016 terjadi serangan bom di Aleppo, Suriah (Syria). Terekspos sebuah foto, video yang menyorot seorang anak kecil laki-laki berusia 5 tahun, bernama Omran. Mengapa akhirnya foto ini begitu dibicarakan ? Karena terlihat bagaimana seorang anak kecil yang berlumuran debu diseluruh tubuhnya hingga warna kulit, pakaian, rambutnya tak lagi terlihat.  Hanya warna abu-abu dan merah yang saya lihat. Ya ada merah di sana, merah karena darah yang melumuri sisi kiri wajahnya.
Omran tidak menangis, terlihat dia kebingungan. Entah seperti apa sebelumnya kebersamaan dengan keluarganya sebelum bom menghantam rumahnya.
Saya sedih, menangis melihat videonya. Bukan hanya saya, banyak orang-orang, di seluruh dunia, bahkan penyiar berita CNN, Kate, menyiarkannya sambil menangis.
Saya terharu, masih banyak orang yang masih memikirkan kemanusiaan satu sama lain, menghiraukan ras, suku, agama, wilayah, gender, usia.
Namun, apa yang saya lihat hari ini, 22 Agustus 2016, di Instagram saya melihat foto dan sedikit penjelasan akan foto itu. Foto seorang ibu yang memangku anaknya, di foto lainnya, ada foto Omran yang penuh luka.
Apa yang tertulis, intinya adalah ibu itu meragukan kebenaran dari foto Omran. Innalillahi. Sebegitu piciknya seseorang yang mengatakan bahwa foto Omran yang terluka itu adalah rekayasa. Terlepas siapa pun yang mengatakannya.
Itu bukan acara TV yang ingin menaikkan rating, itu bukan pula acara entertainment yang mencari penonton terbanyak, itu bukan foto dan video yang hanya mencari 'Like' sebanyak-banyaknya. Itu adalah gambaran kemanusiaan yang tersisihkan, kesedihan, kehilangan, peperangan, terluka, air mata.

Mengapa orang berkata-kata ketika tidak mengetahui kebenarannya. Berita Omran bisa mudah diakses di mana-mana, ada videonya yang asli, bukan rekayasa, bagaimana tim penyelamat mengeluarkannya dari puing-puing. Ada videonya ketika dia baru menyadari wajahnya berdarah ketika dia menyekanya. Lalu dia tetap tidak menangis. Seorang anak kecil dianggap merekayasa. Sungguh picik.

Tolong carilah tahu sebelum berkomentar, begitu mudahnya sekarang mengakses berita. Jangan, tolong jangan berkata-kata dari sesuatu yang tidak diketahui secara benar, sehingga akhirnya kata-kata itu menimbulkan kesedihan lain, kecaman, dan hujatan, yang mungkin tidak hanya dari saya.
Allah SWT yang akan membalas perkataan ibu itu. Omran sayang, biarkan orang yang tidak mengenalmu, yang meragukan kebenaran dari musibah yang menimpamu mendapat kesadaran dan balasannya. Hukum alam berbicara. Karma pasti ada.
Omran sayang, lekas pulih. Maafkan saya yang hanya bisa berdoa dan belum dapat memelukmu secara langsung untuk menyampaikan rasa sayang saya.

Tuesday, August 16, 2016

Kopi + Gula = Memori





Duduk di ruang tunggu, menunggu giliran seperti pasien rumah sakit. Bukan, aku bukan jadi pasien yang memang harus mengantri berkonsultasi dengan dokter, tapi aku sedang menunggu giliran untuk diinterview. Ya, interview, mencari kesempatan untuk mendapat penghasilan, bukannya memeriksakan penyakit yang kuderita. Lagi pula tidak ada dokter yang bisa menyembuhkan sakit yang kuderita, sakit hati, siapalah yang bisa mengobati. Kata orang hanya waktu yang bisa mengobati. Mungkin inilah salah satu caranya, memulai kehidupan baru. Meninggalkan kenangan lama dan mencari hal baru.
Maka, disinilah sekarang aku, duduk menjadi salah satu dari kandidat, berkompetisi untuk menjadi sekretaris dari perusahaan yang bergerak di bidang advertising ini. Kabarnya, perusahaan ini walaupun baru tiga tahun, tapi sudah memiliki reputasi yang bagus karena dipimpin oleh seorang eksekutif muda yang tidak hanya pintar, penuh ide, tetapi juga tampan. Ditambah pula dengan figurnya yang baik. Hahaha…apa ada ya yang sesempurna itu, sepertinya beruntung menjadi sekretarisnya. Entahlah, aku coba saja.
Hmmm… walaupun sudah beberapa kali mengikuti wawancara dan bekerja di beberapa perusahaan, tetapi perasaan grogi untuk diinterview ini masih selalu ada. Aku butuh menenangkan diri. Seperti kebiasaanku, kuambil bungkusan kecil dari kain berwarna peach yang ada dalam tasku, kuciumi aroma yang keluar, aroma yang menenangkanku, aroma kopi.
Setelah aku memasukkan bungkusan itu kembali ke dalam tas dan dengan perasaan yang lebih tenang, aroma kopi sesungguhnya semerbak menghampiri hidungku. Wangi serbuk kopi yang diseduh dengan air panas dan dengan sedikit wangi manis dari batang tebu membawa kenangan masa kecilku ketika seorang ofiice boy membawanya melewatiku Aku mengingat wangi yang serupa, aku sangat mengenalinya, wangi memori itu.
Ketika tinggal di Bandung, usia 6 tahun pertama kalinya aku akrab dengan kopi, menikmati kopi. Di rumah aku tidak diperbolehkan minum kopi, aku mengenalnya dari tetangga di seberang rumah. Sepasang kakek nenek beserta asisten rumah tangga mereka tinggal di sana. Waktu itu, aku sering menemani kakek minum kopi, kalau nenek tidak suka kopi, jadi yang menemani kakek adalah aku. Bukan kakekku, tapi aku begitu dekat dengannya, itu semua karena kopi. Kami bertetangga sudah 2 tahun karena ayahku dipindahtugaskan ke Bandung dari Bank tempat ia bekerja. Jadi sudah 2 tahun aku akrab dengan kopi. Setiap Sabtu sore aku main ke tempat kakek Nanang, menemaninya minum kopi. Kakek tidak pernah membiarkanku minum banyak, hanya secangkir kecil, itupun hanya setengahnya, campuran kopi Bandung, gula pasir, air panas, lalu ditambahi batang tebu sebagai pemanis sekaligus pengaduknya. Wanginya sangat menyenangkan, aku menyukainya.
Ketika menikmati kenangan itulah namaku dipanggil, ”Mba Trinity silahkan masuk,”ucap staf Rekrutmen yang mendampingi kami. Segera aku masuk ke ruangan dimaksud, pintunya sudah terbuka karena tadi OB yang mengantarkan kopi keluar dari ruangan tersebut. Terlihat seorang lelaki duduk menyilangkan kakinya, berpakaian rapi berjas navy blue dengan dalaman kemeja putih dan juga bercelana dengan warna serupa. Rambutnya berpotongan rapi, berwarna hitam. Ia menunduk melihat kertas, kertas CV dari kandidat-kandidat yang akan dia interview. Kuketuk pintu kaca sebelum masuk ke ruangan, dan dia menoleh. Dia melihatku sesaat, lalu tersenyum, ”Silahkan masuk,”izinnya. Aku segera melangkah dan duduk di kursi seberang mejanya. Ada tiga sofa, dua sofa single yang saling berhadapan, terpisahkan oleh meja kaca yang di atasnya ada hiasan bola-bola keseimbangan. Lalu di salah satu sisi kanan meja ada satu sofa double.
Setelah aku duduk, dia kembali melihat ke lembaran-lembaran kertas. ”Selamat datang, bisa perkenalkan diri kamu.”
”Nama saya Trinity.”
”Sebentar, siapa tadi ?”
”Trinity.”
”Maaf, sepertinya saya salah melihat CV.”
Lalu dia sibuk mencari-cari CV milikku. Saat itulah aku jadi sibuk melihat kopi yang ada di hadapannya. Kepulan asap dari hawa panas seduhan kopi itu sangat menarik untukku, hiasan batang tebu yang tingginya melebihi cangkir itu indah menghiasi hitamnya air kopi. Aromanya, aroma yang sama seperti waktu kecil dulu, sangat membuaiku. ”Maaf Trinity, kamu jadi harus menunggu,” kembali aku tersadar dari lamunanku.”Oh, ya, tidak apa-apa Pak,” balasku cepat.
”Hmmm...Trinity, seperti nama yang pernah saya kenal. Nama saya Farrel.” Aku tersenyum mendengarnya, dalam hatiku, satu poin baik untukku, mudah-mudahan Trinity yang dia kenal dulu memiliki kenangan baik untukknya, jangan sampai kalau kenangan buruk jadi mempengaruhi kesempatanku ini. ”Begitu Pak, jarang saya mendengar ada orang yang memiliki nama yang sama dengan saya,” aku mencoba mengomentarinya. Dia pun tersenyum. Lalu berlangsunglah tanya jawab seputar keinginanku bekerja di sana, pengalamanku, sedikit hidupku.
Selesai semua pertanyaan dia ajukan, dia mempersilahkanku untuk bertanya. Ketika aku mengajukan pertanyaan itulah, dia berkesempatan meminum kopinya. Sepertinya nikmat sekali kopi itu, aku juga ingin, tapi aku tidak bisa.
”Sepertinya kamu suka kopi, kamu mau kopi juga, nanti saya pesankan.”
”Tidak perlu Pak, saya tidak bisa minum kopi.”
”Begitu ya, sayang sekali, padahal sepertinya dari tadi kamu sesekali memandangi kopi saya, jadi saya pikir kamu peminum kopi.”
”Saya suka minum kopi, tapi itu dulu Pak. Sekarang sudah tidak lagi,” ada sedikit rasa sesal ketika aku mengatakannya. Ya, sesal dan sedih, kenapa aku sekarang tidak bisa menikmati kopi seperti waktu aku kecil dulu.
”Kamu kalah dong dengan anak kecil, anak kecil saja bisa loh minum kopi, anak kecil perempuan loh,” katanya sambil tersenyum.
”Dulu waktu kecil juga saya suka minum kopi, tapi ada kejadian buruk sampai saya harus dirawat di rumah sakit gara-gara kopi,” jelasku. Lalu dia terdiam mendengar penjelasanku.
”Boleh kamu ceritakan kejadian itu ?” tanyanya dengan raut muka yang begitu penasaran. Aku tersenyum, lalu mengangguk.
”Waktu kecil, usia 6 tahun pertama kali saya mencicipi kopi, lalu saya jatuh cinta dengannya.”
”Saya diperkenalkan dengan kopi oleh seorang kakek tetangga rumah, Eyang Nanang saya memanggilnya.”
”Di rumah saya tidak boleh minum kopi, tapi saya bisa minum kopi kalau di rumah Eyang Nanang.”
”Siapa tadi nama eyang yang kamu sebut ?”tanyanya dengan raut muka yang sedikit kaget.
”Eÿang Nanang, waktu saya tinggal di Bandung,” jawabku.
”Eyang sama persis dengan bapak cara minum kopinya, dengan sepotong batang tebu. Wangi kopinya pun sama. Apa ini kopi Bandung ?” kataku.
Dia mengangguk, ”Benar,” dia mengatakannya lalu terdiam. Aku juga jadi terdiam, apa ini sudah selesai, apa aku sudah boleh keluar. Tapi raut mukanya kenapa seperti itu, tidak seceria tadi ketika mewawancaraiku.
”Kamu sakit karena kopi ?” tanyanya kembali.
”Seharusnya bukan karena kopi, sudah 2 tahun saya minum kopi itu, jadi seharusnya bukan karena kopi, tapi entahlah, orangtua saya bilang karena kopi. Menurut mereka saya terlalu kecil untuk minum kopi, lambung saya tidak kuat. Padahal hanya sedikit, lagi pula sudah 2 tahun saya minum kopi bersama eyang. Itulah yang saya bingung. Saya jadi sedih karena Eyang Nanang jadi merasa bersalah karena itu,” aku menjelaskannya dengan perasaan menyesal. Ya, aku menyesal dan sedih karena kakek jadi sedih karena aku sakit.
Raut muka Pak Farrel jadi berubah, apa aku salah lihat, kenapa dia jadi terlihat sedih juga. ”Tapi Pak, tidak apa-apa saya tidak bisa minum kopi, saya masih menyukainya, saya masih dapat menikmati aromanya.”
Pak Farrel memandangku dan tersenyum, ”Aromanya ya,” komentarnya pendek.
”Ya,” kataku. Lalu kubuka tasku dan mengambil bungkusan kecil berwarna peach, ada pita pink kecil yang menghiasinya.
Pak Farrel terlihat kaget melihat bungkusan itu. ”Itu isinya biji kopi kan ?”
Kaget aku, bagaimana dia bisa tahu. Kujawab dengan anggukan. Terdiam kami, sampai aku bertanya, memecah keheningan. ”Bagaimana Bapak tahu ?”
”Nama saya Farrel, apa kamu tidak merasa mengenal nama itu ?” tanyanya dengan raut muka penasaran.
”Farrel.”
”Parel, kamu ingat ?” tanyanya kembali.
Ya ampun, Parel, iya aku ingat kalau Parel, ”Parel ?”
Lalu dia tersenyum, ”Kamu ingat ?”
”Parel, cucu Eyang Nanang, saya ingat, ternyata Farrel ya seharusnya.” kataku tersenyum lebar. Dia pun tersenyum lebar. ”Eyang memanggil saya Parel, maklum orang Sunda,” katanya lagi sambil tersenyum. Lalu dia kembali terdiam, aku pun terdiam. Kami hanya jadi saling memandang, hanya ada aroma kopi di sekeliling kami, aroma kenangan.
”Sudah banyak berubah ya kamu,” komentarnya memecah keheningan. Aku tersenyum, ”Kamu juga, oh Bapak juga, maaf,” kataku.
”Tidak apa,” balasnya dengan tersenyum. ”Dulu kamu sering dikuncir samping ya, memakai baju-baju berenda warna-warni, seperti boneka.”
”Kamu ingat ?” kataku sambil sedikit kaget mengingatnya, dia mengingat tampilanku waktu ku kecil.
Dia mengangguk sambil tersenyum. ”Aku ingat, di gazebo belakang rumah eyang, sambil memandangi bunga dan ikan koi di kolam, kalian tertawa sambil minum kopi,” katanya.
Benar apa yang dikatakannya, itu yang dulu biasa aku lakukan dengan Kakek Nanang, dia masih ingat.
”Saya tahu kamu masuk rumah sakit waktu itu, maaf saya tidak menjenguk kamu,” ada nada penyesalan di suaranya. ”Tidak apa, kamu harus pulang ke Jakarta bukan ?” timpalku dengan tersenyum. ”Iya, pulang ke Jakarta, sebenarnya saya tidak mau pulang, saya ingin menjenguk kamu, tapi sayang tidak bisa,” kembali dia terdiam.
”Tidak apa-apa, saya kan sudah sehat, hanya diare waktu itu, walaupun sampai harus dirawat.” Tersenyum aku mendengar keinginannya menjengukku. Parel memang lucu dari dulu, menyebalkan juga sebenarnya.
”Saya minta maaf,” katanya mengagetkanku. Wajahnya seperti benar-benar menyesal.
”Hahaha...kenapa ? karena sering menarik rambut saya ? Tidak apa-apa, itu kan waktu kita kecil, wajar, hmmm...sebal juga sih kalau dulu. Tapi benar loh tidak apa-apa. Kalau tidak begitu, saya tidak ingat kamu.” Bohong, padahal aku pasti akan selalu ingat dia, bocah kecil pengganggu. Walaupun pengganggu dan menyebalkan, aku menyukainya. Cinta monyetku yang pertama dengan bocah menyebalkan yang suka menarik-narik rambutku.
Dia terdiam saja. ”Bukan hanya karena saya yang menarik rambut kamu, tapi karena saya kamu sakit,” kata-katanya sangat mengejutkanku.
”Maksudnya ? kenapa saya sakit karena kamu ?” tanyaku bingung.
”Karena saya yang membuat kamu sakit, saya mencampur kopi kamu dengan obat pencahar.”
”Sabtu pagi saya sudah sampai, biasanya sore saya baru sampai ke rumah eyang. Lalu ketika nenek membuat kopi untuk eyang, saya tahu kamu akan datang karena setiap saya datang kamu selalu ada. Kamu biasanya di halaman belakang sudah tertawa-tawa dengan kakek sambil minum kopi. Saya tidak suka melihatnya.” Pak Farrel melanjutkan ceritanya.
”Makanya saya berbuat keterlaluan waktu itu. Sangat keterlaluan, saya menyesal.”
”Kopi di cangkir kamu sudah saya campur dengan obat pencahar, sepertinya obatnya terlalu banyak, jadi kamu sakit sampai harus dibawa ke rumah sakit.”Apa-apaan ini, penjelasannya menjadi jawaban kenapa aku sakit, bukan, bukan karena kopi ternyata, tapi karena dia, karena Si Parel bocah nakal, keterlaluan sekali dia. Saya sakit sampai membuat kakek sedih, dan saya meninggalkan Bandung dengan perasaan menyesal karena saya pindah dengan meninggalkan rasa bersalah pada kakek. Kakek menyangka karena dirinya saya sakit.
Senyumku seketika hilang dari wajahku. Aku langsung berdiri, ”Saya pamit dulu Pak, terima kasih. Selamat siang.” Segera aku berjalan keluar ruangannya. ”Trinity,” panggilnya dengan lemas.
Tak kuhiraukan dia, kesal sekali aku. Bisa-bisanya dia begitu jahatnya padaku waktu kita kecil dulu. Aku tidak tahu sebegitu sebalnya dia dengan aku.

Wawancara siang tadi menjadi kenangan buruk, aroma kenangan itu menjadi rasa pahit. Masih ada kesal sekarang menyelimutiku. Sesampai di rumah siang tadi langsung aku menceritakannya pada ibuku kalau dulu aku sakit bukan karena kakek Nanang, tapi karena Parel. Ibuku malah tertawa mendengarnya. ”Lucu ya,” begitu komentarnya. Apanya yang lucu, menyesal aku dulu menyukainya, pria pertama yang kusukai waktu ku kecil selain ayahku.
Di kamar aku melihat-lihat foto-foto kecilku, ada beberapa foto waktu di Bandung, ada kakek Nanang, dan ada satu foto terselip foto Farrel. Segera kututup dengan kesal album fotonya. Lelaki ternyata benar-benar menyebalkan ya, selalu saja membuat sedih, tidak yang besar saja, tetapi yang kecil juga. Mencoba memulai hal baru untuk melupakan pengalamanku di tempat lama, tetapi boro-boro, belum memulai di tempat baru, baru wawancara, sudah menyebalkan saja yang kualami. Menyebalkaaaaaaannnnnn.
Terdengar bunyi bel pintu, ada tamu, paling tetangga. Lebih baik aku mandi, sudah jam setengah 7 malam karena kejadian tadi siang, aku sibuk bernostalgia. Untuk mendinginkan emosiku, sebaiknya aku mandi. Sedang asyiknya aku menyabuni badan, tiba-tiba ibuku mengetok pintu kamar mandi, ”Trinity, ada Farrel di depan, cucunya Eyang Nanang katanya.” Kaget aku, ”Farrel mah ? Serius ?”
”Iya, masa mamah bohong. Tambah ganteng ya dia sekarang. Mamah mau ajak obrol dia dulu ya,” goda ibuku.
Kira-kira setengah jam dia sudah menungguku. Aku keluar setelah berpakaian dan berdandan sedikit. Untuk apa aku berdandan terlalu rapih untuk orang seperti dia, si menyebalkan. Tapi tidak enak juga aku membiarkannya menunggu terlalu lama. Sebaiknya aku segera menemuinya. Segera aku menuju ruang tamu. Terdengar tawa dia dengan ibuku, entah apa yang dibicarakan. Tawa Farrel seketika berhenti ketika melihatku yang datang tanpa senyum. Ibuku segera menengok ke arah Farrel melihatku. ”Eh, sudah datang,” goda ibuku. Ya ampun, pantas mereka tertawa, mereka sedang melihat-lihat album foto, aduuuh kenapa pula ibuku menunjukkan foto-fotoku dulu. ”Ini tadi mamah tunjukin ke Farrel foto-foto kamu, dari kecil, waktu di Bandung, sampai kamu wisuda. Seneng deh mamah.,” jelas Ibuku dengan penuh keceriaan. ”Aduh, mamah nih. Maaf ya hal ngga penting ditunjukkin ke kamu,” kataku tanpa nada.
”Ngga kok, penting itu, saya senang,” jawab Farrel sambil tersenyum. ”Tuh kan dia senang,” ibuku bertambah ceria ketika mendengarnya. ”Idiih, mamah nih.”
”Oke deh, mamah tinggal ya. Biar kalian ngobrol enak, mamah juga udah bilang tadi kamu kesal karena merasa dijahati Farrel.Udah, kamu ngga usah marah lagi, ini Farrel ke sini mau minta maaf kok, liat tuh dia bawa apa,”goda ibuku lagi. Kulihat di meja ada botol termos kecil, dan kantong paper bag coklat.
Sepeninggal ibuku, dan setelah aku duduk, barulah aku membuka suara. ”Apa itu ?” tanyaku penasaran juga.
”Perdamaian, kopi,” jelasnya sambil tersenyum. Lalu dia mengambil sesuatu dari dalam paper bag, cangkir kopi putih mungil, seperti yang biasa aku gunakan dulu waktu di rumah kakek Nanang. Dengan tenang dia membuka tutup termos, menuangkannya lalu menyodorkannya ke aku. ”Maafkan kenakalan saya dulu,” katanya tulus.
Aku tidak meraihnya, aku memandanginya saja. Melihat dari mata ke mata, hanya memandanginya. Terlihat bola matanya bergerak ke kanan, ke kiri, tidak mau memandangku. Tangannya bergoyang, seperti gemetar. Aku segera meraihnya, tangan kananku memegang pergelangan tangannya, tangan kiriku meraih cangkirnya, khawatir dia akan menjatuhkan cangkirnya. ”Aduh, kamu hampir menjatuhkannya,”kataku.
”Maaf,” katanya penuh sesal. ”Sudahlah, sudah lewat juga, itu kan waktu kita kecil dulu. Saya sudah tidak marah lagi kok.”kataku sambil tersenyum. Lalu aku sadar kalau aku masih memegang tanggannya, begitu pun dia. Segera aku melepaskan tanganku, dan dia segera menaruh cangkir itu di meja. Aku tidak berani memandangnya. Lalu dia memanggilku, ”Trinity,” panggilnya lembut. Aku masih terdiam. ”Saya masih ingin minta maaf.” Segera aku melihatnya. Ya dia benar-benar menyesal. ”Maaf, dulu saya melakukan hal itu, saya pikir saya kesal waktu itu karena kamu mengambil Eyang Nanang,” lalu dia terdiam.
”Tapi, tadi siang saya sadar, bukan, bukan karena Eyang Nanang yang kamu rebut, tapi Eyang Nanang yang merebut kamu.” Tunggu sebentar, apa ya tadi kata-katanya. Aku jadi bingung, apa aku salah dengar. ”Tunggu-tunggu, eyang merebut saya ?”
”Ya, eyang merebut kamu.” Dia tersenyum.
”Tapi...,” aduuh, apa coba maksudnya. ”Saya kesal setiap kali kamu tertawa-tawa dengan Eyang, sedangkan dengan saya kamu malah menangis,” Farrel mencoba menjelaskan.
”Tapi...,”apa ya yang harus saya katakan. ”Saya menangis, iya yah saya menangis setiap ada kamu dulu.” Benar juga ya dipikir-pikir, ada saja yang dilakukannya dulu, yang membuatku menangis. Kulihat Farrel, dia mencoba mengambil sesuatu kembali dari paper bag,  dia mengeluarkan sebatang tebu lalu mencelupkannya ke dalam cangkir. ”Tapi, saya menyukainya,” kataku. Farrel segera melihat ke arahku, terlihat bingung wajahnya. ”Kamu bilang apa tadi ?”tanyanya. ”Saya menyukainya.” Aku lalu tersenyum.
”Saya menyukai setiap Sabtu ketika kamu datang,”kataku kembali.
Wajahnya terlihat bingung, lalu berubah menjadi senyuman. ”Kamu tahu kenapa aku datang ke rumah kamu sekarang ?” tanya Farrel.
”Tahu, karena CV saya kan kamu lihat ada alamatnya.”
”Bukan, bukan cuma karena itu. Tapi karena saya tahu kamu single,” lalu dia tersenyum.
”Saya tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, seperti waktu kecil, ketika kamu sakit, lalu pindah. Saya sebenarnya sangat ingin bertemu kamu dan meminta maaf ketika saya datang lagi ke rumah eyang. Tapi sayang kamu sudah pindah. Lalu, tadi siang ketika bertemu kamu lagi, ketika kamu mengeluarkan bungkusan biji kopi itu. Saya sadar, saya masih mendapat kesempatan. Ketika kamu meninggalkan ruangan saya, segera saya kembali membaca CV kamu dan memeriksa lagi status kamu, kalau kamu masih single. Ini kesempatan saya. Saya tidak boleh menunda lagi. Saya menyukai kamu dulu waktu kita kecil, dan perasaan itu kembali muncul. Ternyata saya masih tetap menyukai kamu.”Dia mengakhiri pengungkapannya dengan senyuman.


Epilogue :
Siapa bilang kopi itu pahit, buktinya manis. Saya merasakan kopi itu manis. Kopi mempertemukan saya dengan Farrel kembali. Tuhan mengaturnya sedemikian rupa. Kalau saja saya tidak merasa sedih ketika meninggalkan kantor sebelumnya. Pasti saya tidak akan bertemu Farrel. Tuhan tahu, Farrel yang terbaik untuk saya. Kami bertemu lagi di saat yang tepat.
Aku tidak mendapatkan pekerjaan sebagai pegawainya. Tapi aku mendapatkan hal lebih baik dari itu, Farrel dan masa depan kami.
Oh iya, terima kasih Eyang karena Eyang kami bertemu. Akhir minggu ini kami akan menceritakan pada Eyang semuanya, Farrel juga akan meminta maaf pada Eyang karena Eyang merasa bersalah dulu aku sakit, selain itu Farrel juga mau bilang kalau cangkir putihnya hilang satu karena dia ambil. Katanya cangkir itu pengingat aku untuknya.
Kopi Itu Manis.....

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com