Duduk di ruang tunggu, menunggu giliran seperti pasien rumah
sakit. Bukan, aku bukan jadi pasien yang memang harus mengantri berkonsultasi
dengan dokter, tapi aku sedang menunggu giliran untuk diinterview. Ya,
interview, mencari kesempatan untuk mendapat penghasilan, bukannya memeriksakan
penyakit yang kuderita. Lagi pula tidak ada dokter yang bisa menyembuhkan sakit
yang kuderita, sakit hati, siapalah yang bisa mengobati. Kata orang hanya waktu
yang bisa mengobati. Mungkin inilah salah satu caranya, memulai kehidupan baru.
Meninggalkan kenangan lama dan mencari hal baru.
Maka, disinilah sekarang aku, duduk
menjadi salah satu dari kandidat, berkompetisi untuk menjadi sekretaris dari
perusahaan yang bergerak di bidang advertising ini. Kabarnya, perusahaan ini
walaupun baru tiga tahun, tapi sudah memiliki reputasi yang bagus karena
dipimpin oleh seorang eksekutif muda yang tidak hanya pintar, penuh ide, tetapi
juga tampan. Ditambah pula dengan figurnya yang baik. Hahaha…apa ada ya yang
sesempurna itu, sepertinya beruntung menjadi sekretarisnya. Entahlah, aku coba
saja.
Hmmm… walaupun sudah beberapa kali
mengikuti wawancara dan bekerja di beberapa perusahaan, tetapi perasaan grogi
untuk diinterview ini masih selalu ada. Aku butuh menenangkan diri. Seperti
kebiasaanku, kuambil bungkusan kecil dari kain berwarna peach yang ada dalam
tasku, kuciumi aroma yang keluar, aroma yang menenangkanku, aroma kopi.
Setelah aku memasukkan bungkusan itu
kembali ke dalam tas dan dengan perasaan yang lebih tenang, aroma kopi
sesungguhnya semerbak menghampiri hidungku. Wangi serbuk kopi yang diseduh
dengan air panas dan dengan sedikit wangi manis dari batang tebu membawa
kenangan masa kecilku ketika seorang ofiice
boy membawanya melewatiku Aku mengingat wangi yang serupa, aku sangat
mengenalinya, wangi memori itu.
Ketika tinggal di Bandung, usia 6 tahun pertama kalinya aku
akrab dengan kopi, menikmati kopi. Di rumah aku tidak diperbolehkan minum kopi,
aku mengenalnya dari tetangga di seberang rumah. Sepasang kakek
nenek beserta asisten rumah tangga mereka tinggal di sana. Waktu itu, aku
sering menemani kakek minum kopi, kalau nenek tidak suka kopi, jadi yang
menemani kakek adalah aku. Bukan kakekku, tapi aku begitu dekat dengannya, itu
semua karena kopi. Kami bertetangga sudah 2 tahun karena ayahku
dipindahtugaskan ke Bandung dari Bank tempat ia bekerja. Jadi sudah 2 tahun aku
akrab dengan kopi. Setiap Sabtu sore aku main ke tempat kakek Nanang,
menemaninya minum kopi. Kakek tidak pernah membiarkanku minum banyak, hanya
secangkir kecil, itupun hanya setengahnya, campuran kopi Bandung, gula pasir,
air panas, lalu ditambahi batang tebu sebagai pemanis sekaligus pengaduknya.
Wanginya sangat menyenangkan, aku menyukainya.
Ketika menikmati
kenangan itulah namaku dipanggil, ”Mba Trinity silahkan masuk,”ucap staf
Rekrutmen yang mendampingi kami. Segera aku masuk ke ruangan dimaksud, pintunya
sudah terbuka karena tadi OB yang mengantarkan kopi keluar dari ruangan
tersebut. Terlihat seorang lelaki duduk menyilangkan kakinya, berpakaian rapi
berjas navy blue dengan dalaman
kemeja putih dan juga bercelana dengan warna serupa. Rambutnya berpotongan
rapi, berwarna hitam. Ia menunduk melihat kertas, kertas CV dari
kandidat-kandidat yang akan dia interview. Kuketuk pintu kaca sebelum masuk ke
ruangan, dan dia menoleh. Dia melihatku sesaat, lalu tersenyum, ”Silahkan
masuk,”izinnya. Aku segera melangkah dan duduk di kursi seberang mejanya. Ada
tiga sofa, dua sofa single yang
saling berhadapan, terpisahkan oleh meja kaca yang di atasnya ada hiasan
bola-bola keseimbangan. Lalu di salah satu sisi kanan meja ada
satu sofa double.
Setelah aku
duduk, dia kembali melihat ke lembaran-lembaran kertas. ”Selamat datang, bisa
perkenalkan diri kamu.”
”Nama saya
Trinity.”
”Sebentar, siapa
tadi ?”
”Trinity.”
”Maaf,
sepertinya saya salah melihat CV.”
Lalu dia sibuk
mencari-cari CV milikku. Saat itulah aku jadi sibuk melihat kopi yang ada di
hadapannya. Kepulan asap dari hawa panas seduhan kopi itu sangat menarik
untukku, hiasan batang tebu yang tingginya melebihi cangkir itu indah menghiasi
hitamnya air kopi. Aromanya, aroma yang sama seperti waktu kecil dulu, sangat
membuaiku. ”Maaf Trinity, kamu jadi harus menunggu,” kembali aku tersadar dari
lamunanku.”Oh, ya, tidak apa-apa Pak,” balasku cepat.
”Hmmm...Trinity,
seperti nama yang pernah saya kenal. Nama saya Farrel.” Aku tersenyum
mendengarnya, dalam hatiku, satu poin baik untukku, mudah-mudahan Trinity yang
dia kenal dulu memiliki kenangan baik untukknya, jangan sampai kalau kenangan
buruk jadi mempengaruhi kesempatanku ini. ”Begitu Pak, jarang saya mendengar
ada orang yang memiliki nama yang sama dengan saya,” aku mencoba
mengomentarinya. Dia pun tersenyum. Lalu berlangsunglah tanya jawab seputar
keinginanku bekerja di sana, pengalamanku, sedikit hidupku.
Selesai semua
pertanyaan dia ajukan, dia mempersilahkanku untuk bertanya. Ketika aku
mengajukan pertanyaan itulah, dia berkesempatan meminum kopinya. Sepertinya
nikmat sekali kopi itu, aku juga ingin, tapi aku tidak bisa.
”Sepertinya kamu
suka kopi, kamu mau kopi juga, nanti saya pesankan.”
”Tidak perlu
Pak, saya tidak bisa minum kopi.”
”Begitu ya,
sayang sekali, padahal sepertinya dari tadi kamu sesekali memandangi kopi saya,
jadi saya pikir kamu peminum kopi.”
”Saya suka minum
kopi, tapi itu dulu Pak. Sekarang sudah tidak lagi,” ada sedikit
rasa sesal ketika aku mengatakannya. Ya, sesal dan sedih, kenapa aku sekarang
tidak bisa menikmati kopi seperti waktu aku kecil dulu.
”Kamu kalah dong
dengan anak kecil, anak kecil saja bisa loh minum kopi, anak kecil perempuan
loh,” katanya sambil tersenyum.
”Dulu waktu
kecil juga saya suka minum kopi, tapi ada kejadian buruk sampai saya harus
dirawat di rumah sakit gara-gara kopi,” jelasku. Lalu dia terdiam mendengar
penjelasanku.
”Boleh kamu
ceritakan kejadian itu ?” tanyanya dengan raut muka yang begitu penasaran. Aku
tersenyum, lalu mengangguk.
”Waktu kecil,
usia 6 tahun pertama kali saya mencicipi kopi, lalu saya jatuh cinta
dengannya.”
”Saya
diperkenalkan dengan kopi oleh seorang kakek tetangga rumah, Eyang Nanang saya
memanggilnya.”
”Di rumah saya
tidak boleh minum kopi, tapi saya bisa minum kopi kalau di rumah Eyang Nanang.”
”Siapa tadi nama
eyang yang kamu sebut ?”tanyanya dengan raut muka yang sedikit kaget.
”Eÿang Nanang,
waktu saya tinggal di Bandung,” jawabku.
”Eyang sama
persis dengan bapak cara minum kopinya, dengan sepotong batang tebu. Wangi
kopinya pun sama. Apa ini kopi Bandung ?” kataku.
Dia mengangguk,
”Benar,” dia mengatakannya lalu terdiam. Aku juga jadi terdiam, apa ini sudah
selesai, apa aku sudah boleh keluar. Tapi raut mukanya kenapa seperti itu,
tidak seceria tadi ketika mewawancaraiku.
”Kamu sakit
karena kopi ?” tanyanya kembali.
”Seharusnya
bukan karena kopi, sudah 2 tahun saya minum kopi itu, jadi seharusnya bukan
karena kopi, tapi entahlah, orangtua saya bilang karena kopi. Menurut mereka
saya terlalu kecil untuk minum kopi, lambung saya tidak kuat. Padahal hanya
sedikit, lagi pula sudah 2 tahun saya minum kopi bersama eyang. Itulah yang
saya bingung. Saya jadi sedih karena Eyang Nanang jadi merasa bersalah karena
itu,” aku menjelaskannya dengan perasaan menyesal. Ya, aku menyesal
dan sedih karena kakek jadi sedih karena aku sakit.
Raut muka Pak
Farrel jadi berubah, apa aku salah lihat, kenapa dia jadi terlihat sedih juga.
”Tapi Pak, tidak apa-apa saya tidak bisa minum kopi, saya masih menyukainya,
saya masih dapat menikmati aromanya.”
Pak Farrel
memandangku dan tersenyum, ”Aromanya ya,” komentarnya pendek.
”Ya,” kataku.
Lalu kubuka tasku dan mengambil bungkusan kecil berwarna peach, ada pita pink
kecil yang menghiasinya.
Pak Farrel
terlihat kaget melihat bungkusan itu. ”Itu isinya biji kopi kan ?”
Kaget aku,
bagaimana dia bisa tahu. Kujawab dengan anggukan. Terdiam kami, sampai aku
bertanya, memecah keheningan. ”Bagaimana Bapak tahu ?”
”Nama saya
Farrel, apa kamu tidak merasa mengenal nama itu ?” tanyanya dengan raut muka
penasaran.
”Farrel.”
”Parel, kamu
ingat ?” tanyanya kembali.
Ya ampun, Parel,
iya aku ingat kalau Parel, ”Parel ?”
Lalu dia
tersenyum, ”Kamu ingat ?”
”Parel, cucu
Eyang Nanang, saya ingat, ternyata Farrel ya seharusnya.” kataku tersenyum
lebar. Dia pun tersenyum lebar. ”Eyang memanggil saya Parel, maklum orang
Sunda,” katanya lagi sambil tersenyum. Lalu dia kembali terdiam, aku pun
terdiam. Kami hanya jadi saling memandang, hanya ada aroma kopi di sekeliling
kami, aroma kenangan.
”Sudah banyak
berubah ya kamu,” komentarnya memecah keheningan. Aku tersenyum, ”Kamu juga, oh
Bapak juga, maaf,” kataku.
”Tidak apa,”
balasnya dengan tersenyum. ”Dulu kamu sering dikuncir samping ya, memakai
baju-baju berenda warna-warni, seperti boneka.”
”Kamu ingat ?”
kataku sambil sedikit kaget mengingatnya, dia mengingat tampilanku waktu ku kecil.
Dia mengangguk
sambil tersenyum. ”Aku ingat, di gazebo belakang rumah eyang, sambil memandangi
bunga dan ikan koi di kolam, kalian tertawa sambil minum kopi,” katanya.
Benar apa yang
dikatakannya, itu yang dulu biasa aku lakukan dengan Kakek Nanang, dia masih
ingat.
”Saya tahu kamu
masuk rumah sakit waktu itu, maaf saya tidak menjenguk kamu,” ada nada
penyesalan di suaranya. ”Tidak apa, kamu harus pulang ke Jakarta bukan ?”
timpalku dengan tersenyum. ”Iya, pulang ke Jakarta, sebenarnya saya tidak mau
pulang, saya ingin menjenguk kamu, tapi sayang tidak bisa,” kembali dia terdiam.
”Tidak apa-apa,
saya kan sudah sehat, hanya diare waktu itu, walaupun sampai harus dirawat.”
Tersenyum aku mendengar keinginannya menjengukku. Parel memang lucu dari dulu,
menyebalkan juga sebenarnya.
”Saya minta
maaf,” katanya mengagetkanku. Wajahnya seperti benar-benar menyesal.
”Hahaha...kenapa
? karena sering menarik rambut saya ? Tidak apa-apa, itu kan waktu kita kecil,
wajar, hmmm...sebal juga sih kalau dulu. Tapi benar loh tidak apa-apa. Kalau
tidak begitu, saya tidak ingat kamu.” Bohong, padahal aku pasti akan selalu
ingat dia, bocah kecil pengganggu. Walaupun pengganggu dan menyebalkan, aku
menyukainya. Cinta monyetku yang pertama dengan bocah menyebalkan yang suka
menarik-narik rambutku.
Dia terdiam
saja. ”Bukan hanya karena saya yang menarik rambut kamu, tapi karena saya kamu
sakit,” kata-katanya sangat mengejutkanku.
”Maksudnya ?
kenapa saya sakit karena kamu ?” tanyaku bingung.
”Karena saya
yang membuat kamu sakit, saya mencampur kopi kamu dengan obat pencahar.”
”Sabtu pagi saya
sudah sampai, biasanya sore saya baru sampai ke rumah eyang. Lalu ketika nenek
membuat kopi untuk eyang, saya tahu kamu akan datang karena setiap saya datang
kamu selalu ada. Kamu biasanya di halaman belakang sudah tertawa-tawa dengan
kakek sambil minum kopi. Saya tidak suka melihatnya.” Pak Farrel melanjutkan
ceritanya.
”Makanya saya
berbuat keterlaluan waktu itu. Sangat keterlaluan, saya menyesal.”
”Kopi di cangkir
kamu sudah saya campur dengan obat pencahar, sepertinya obatnya terlalu banyak,
jadi kamu sakit sampai harus dibawa ke rumah sakit.”Apa-apaan ini,
penjelasannya menjadi jawaban kenapa aku sakit, bukan, bukan karena kopi
ternyata, tapi karena dia, karena Si Parel bocah nakal, keterlaluan sekali dia.
Saya sakit sampai membuat kakek sedih, dan saya meninggalkan Bandung dengan
perasaan menyesal karena saya pindah dengan meninggalkan rasa bersalah pada
kakek. Kakek menyangka karena dirinya saya sakit.
Senyumku
seketika hilang dari wajahku. Aku langsung berdiri, ”Saya pamit dulu Pak,
terima kasih. Selamat siang.” Segera aku berjalan keluar ruangannya. ”Trinity,”
panggilnya dengan lemas.
Tak kuhiraukan
dia, kesal sekali aku. Bisa-bisanya dia begitu jahatnya padaku waktu kita kecil
dulu. Aku tidak tahu sebegitu sebalnya dia dengan aku.
Wawancara siang
tadi menjadi kenangan buruk, aroma kenangan itu menjadi rasa pahit. Masih ada
kesal sekarang menyelimutiku. Sesampai di rumah siang tadi langsung aku
menceritakannya pada ibuku kalau dulu aku sakit bukan karena kakek Nanang, tapi
karena Parel. Ibuku malah tertawa mendengarnya. ”Lucu ya,” begitu komentarnya.
Apanya yang lucu, menyesal aku dulu menyukainya, pria pertama yang kusukai
waktu ku kecil selain ayahku.
Di kamar aku
melihat-lihat foto-foto kecilku, ada beberapa foto waktu di Bandung, ada kakek
Nanang, dan ada satu foto terselip foto Farrel. Segera kututup dengan kesal
album fotonya. Lelaki ternyata benar-benar menyebalkan ya, selalu saja membuat
sedih, tidak yang besar saja, tetapi yang kecil juga. Mencoba memulai hal baru
untuk melupakan pengalamanku di tempat lama, tetapi boro-boro, belum memulai di tempat baru, baru wawancara, sudah
menyebalkan saja yang kualami. Menyebalkaaaaaaannnnnn.
Terdengar bunyi
bel pintu, ada tamu, paling tetangga. Lebih baik aku mandi, sudah jam setengah
7 malam karena kejadian tadi siang, aku sibuk bernostalgia. Untuk mendinginkan
emosiku, sebaiknya aku mandi. Sedang asyiknya aku menyabuni badan, tiba-tiba
ibuku mengetok pintu kamar mandi, ”Trinity, ada Farrel di depan, cucunya Eyang
Nanang katanya.” Kaget aku, ”Farrel mah ? Serius ?”
”Iya, masa mamah
bohong. Tambah ganteng ya dia sekarang. Mamah mau ajak obrol dia dulu ya,” goda
ibuku.
Kira-kira
setengah jam dia sudah menungguku. Aku keluar setelah berpakaian dan berdandan
sedikit. Untuk apa aku berdandan terlalu rapih untuk orang seperti dia, si
menyebalkan. Tapi tidak enak juga aku membiarkannya menunggu terlalu lama.
Sebaiknya aku segera menemuinya. Segera aku menuju ruang tamu. Terdengar tawa
dia dengan ibuku, entah apa yang dibicarakan. Tawa Farrel seketika berhenti
ketika melihatku yang datang tanpa senyum. Ibuku segera menengok ke arah Farrel
melihatku. ”Eh, sudah datang,” goda ibuku. Ya ampun, pantas mereka tertawa,
mereka sedang melihat-lihat album foto, aduuuh kenapa pula ibuku menunjukkan
foto-fotoku dulu. ”Ini tadi mamah tunjukin ke Farrel foto-foto kamu, dari
kecil, waktu di Bandung, sampai kamu wisuda. Seneng deh mamah.,” jelas Ibuku
dengan penuh keceriaan. ”Aduh, mamah nih. Maaf ya hal ngga
penting ditunjukkin ke kamu,” kataku tanpa nada.
”Ngga kok,
penting itu, saya senang,” jawab Farrel sambil tersenyum. ”Tuh kan dia senang,”
ibuku bertambah ceria ketika mendengarnya. ”Idiih, mamah nih.”
”Oke deh, mamah
tinggal ya. Biar kalian ngobrol enak, mamah juga udah bilang tadi kamu kesal
karena merasa dijahati Farrel.Udah, kamu ngga usah marah lagi, ini Farrel ke
sini mau minta maaf kok, liat tuh dia bawa apa,”goda ibuku lagi. Kulihat di
meja ada botol termos kecil, dan kantong paper bag coklat.
Sepeninggal
ibuku, dan setelah aku duduk, barulah aku membuka suara. ”Apa itu ?” tanyaku
penasaran juga.
”Perdamaian,
kopi,” jelasnya sambil tersenyum. Lalu dia mengambil sesuatu dari dalam paper bag, cangkir kopi putih mungil,
seperti yang biasa aku gunakan dulu waktu di rumah kakek Nanang. Dengan tenang
dia membuka tutup termos, menuangkannya lalu menyodorkannya ke aku. ”Maafkan
kenakalan saya dulu,” katanya tulus.
Aku tidak
meraihnya, aku memandanginya saja. Melihat dari mata ke mata, hanya
memandanginya. Terlihat bola matanya bergerak ke kanan, ke kiri, tidak
mau memandangku. Tangannya bergoyang, seperti gemetar. Aku segera meraihnya,
tangan kananku memegang pergelangan tangannya, tangan kiriku meraih cangkirnya,
khawatir dia akan menjatuhkan cangkirnya. ”Aduh, kamu hampir
menjatuhkannya,”kataku.
”Maaf,” katanya
penuh sesal. ”Sudahlah, sudah lewat juga, itu kan waktu kita kecil dulu. Saya
sudah tidak marah lagi kok.”kataku sambil tersenyum. Lalu aku sadar kalau aku
masih memegang tanggannya, begitu pun dia. Segera aku melepaskan tanganku, dan
dia segera menaruh cangkir itu di meja. Aku tidak berani memandangnya. Lalu dia
memanggilku, ”Trinity,” panggilnya lembut. Aku masih terdiam. ”Saya masih ingin
minta maaf.” Segera aku melihatnya. Ya dia benar-benar menyesal. ”Maaf, dulu
saya melakukan hal itu, saya pikir saya kesal waktu itu karena kamu mengambil
Eyang Nanang,” lalu dia terdiam.
”Tapi, tadi
siang saya sadar, bukan, bukan karena Eyang Nanang yang kamu rebut, tapi Eyang
Nanang yang merebut kamu.” Tunggu sebentar, apa ya tadi kata-katanya. Aku jadi
bingung, apa aku salah dengar. ”Tunggu-tunggu, eyang merebut saya ?”
”Ya, eyang
merebut kamu.” Dia tersenyum.
”Tapi...,”
aduuh, apa coba maksudnya. ”Saya kesal setiap kali kamu tertawa-tawa dengan
Eyang, sedangkan dengan saya kamu malah menangis,” Farrel mencoba menjelaskan.
”Tapi...,”apa ya
yang harus saya katakan. ”Saya menangis, iya yah saya menangis setiap ada kamu
dulu.” Benar juga ya dipikir-pikir, ada saja yang dilakukannya dulu, yang
membuatku menangis. Kulihat Farrel, dia mencoba mengambil sesuatu kembali dari paper bag, dia mengeluarkan sebatang tebu lalu
mencelupkannya ke dalam cangkir. ”Tapi, saya menyukainya,” kataku. Farrel
segera melihat ke arahku, terlihat bingung wajahnya. ”Kamu bilang apa tadi
?”tanyanya. ”Saya menyukainya.” Aku lalu tersenyum.
”Saya menyukai
setiap Sabtu ketika kamu datang,”kataku kembali.
Wajahnya
terlihat bingung, lalu berubah menjadi senyuman. ”Kamu tahu kenapa aku datang
ke rumah kamu sekarang ?” tanya Farrel.
”Tahu, karena CV
saya kan kamu lihat ada alamatnya.”
”Bukan, bukan
cuma karena itu. Tapi karena saya tahu kamu single,” lalu dia tersenyum.
”Saya tidak
ingin kehilangan kesempatan lagi, seperti waktu kecil, ketika kamu sakit, lalu
pindah. Saya sebenarnya sangat ingin bertemu kamu dan meminta maaf ketika saya
datang lagi ke rumah eyang. Tapi sayang kamu sudah pindah. Lalu, tadi siang
ketika bertemu kamu lagi, ketika kamu mengeluarkan bungkusan biji kopi itu.
Saya sadar, saya masih mendapat kesempatan. Ketika kamu meninggalkan ruangan
saya, segera saya kembali membaca CV kamu dan memeriksa lagi status kamu, kalau
kamu masih single. Ini kesempatan
saya. Saya tidak boleh menunda lagi. Saya menyukai kamu dulu waktu kita kecil,
dan perasaan itu kembali muncul. Ternyata saya masih tetap menyukai kamu.”Dia
mengakhiri pengungkapannya dengan senyuman.
Epilogue :
Siapa bilang
kopi itu pahit, buktinya manis. Saya merasakan kopi itu manis. Kopi
mempertemukan saya dengan Farrel kembali. Tuhan mengaturnya sedemikian rupa.
Kalau saja saya tidak merasa sedih ketika meninggalkan kantor sebelumnya. Pasti
saya tidak akan bertemu Farrel. Tuhan tahu, Farrel yang terbaik untuk saya.
Kami bertemu lagi di saat yang tepat.
Aku tidak
mendapatkan pekerjaan sebagai pegawainya. Tapi aku mendapatkan hal lebih baik dari
itu, Farrel dan masa depan kami.
Oh iya, terima
kasih Eyang karena Eyang kami bertemu. Akhir minggu ini kami akan menceritakan
pada Eyang semuanya, Farrel juga akan meminta maaf pada Eyang karena Eyang
merasa bersalah dulu aku sakit, selain itu Farrel juga mau bilang kalau cangkir
putihnya hilang satu karena dia ambil. Katanya cangkir itu pengingat aku
untuknya.
Kopi Itu
Manis.....
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com